Ia memberikan gambaran, sewaktu-waktu kepentingan para elite politik bisa saja sama. Namun pada waktu berbeda kepentingan mereka bisa jadi berubah.
"Di situ untuk memahami secara utuh dan benar, harus dilihat konteks dari berbagai aspek. Dilihat dari aspek kebijakan. Aspek pilihan orang. Dan rangkaian kejadian hingga pernyataan pernyataan yang menyertai," ucapnya.
Diakui Henri, ideologi dan nasionalisme di antara para elite politik bisa saja ada kesamaaan, sehingga mendekatkan atau mengurangi perbedaan dinamika kepentingan di antara mereka.
"Tapi kesamaan ideologi dan ikatan nasionalisme itu tidak terus menerus kuat apalagi langgeng. Tidak demikian," bebernya.
Terlebih, kata Henri, pada era politik pragmatis dan materialistis seperti saat ini, yang menonjol sebagai basis interaksi politik hanya kepentingan pribadi dan kelompok pada konteks waktu tertentu.
"Sedang kesamaan kesamaan idealisme dan kenegarawanan makin nampak melemah bahkan banyak yang luntur. Di situlah mengapa kita jangan naif dalam memahami politik. Apa yang kita anggap baik, belum tentu faktanya (terutama yg tersembunyi) juga baik seperti yang kita harapkan. Malah bisa sebaliknya," tandasnya.
Ia menarik contoh hubungan antara Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi. Meskipun nampak harmonis di hadapan publik, tapi di baliknya hanya mereka berdua yang tahu.
"Jadi jangan baper. Reaksi kebaperan anda menunjukkan siapa anda," kuncinya.
(Muhsin/fajar)