Silfester Matutina Tak Tersentuh Hukum, Rahman Syamsuddin: Ini Kelalaian Fatal Jaksa

  • Bagikan
Pengamat Hukum Pidana UIN Makassar, Dr. Rahman Syamsuddin,

FAJAR.CO.ID, MAKASSAR -- Beberapa hari terakhir, nama pendukung setia Jokowi, Silfester Matutina, terus menjadi buah bibir. Meskipun telah berstatus terpidana, namun ia tidak kunjung ditahan.

Asumsi bahwa pendiri Solidaritas Merah Putih (Solmet), organisasi relawan pendukung Jokowi itu, diduga memiliki beking kuat di belakangnya pun mendadak mengalir.

Bahkan, beredar poster pencarian sosok Silfester yang disebut-sebut sebagai buronan Kejari Jakarta Selatan.

Menanggapi riak-riak tersebut, Pengamat Hukum Pidana UIN Makassar, Dr. Rahman Syamsuddin, mengatakan bahwa ada kelalaian pada kasus tersebut.

Ia merujuk pada ketentuan Pasal 270 KUHAP, pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) menjadi kewajiban Jaksa selaku eksekutor.

"Apabila terpidana seperti Silfester telah diputus bersalah dengan putusan yang inkrah, namun eksekusi belum dilaksanakan tanpa alasan yang sah menurut hukum, maka hal tersebut patut diduga sebagai bentuk kelalaian atau penyimpangan dari prosedur hukum acara pidana," kata Rahman kepada fajar.co.id, Senin (11/8/2025).

Secara yuridis, kata Rahman, terdapat beberapa faktor yang secara sah dapat menunda pelaksanaan eksekusi.

"Alasan kesehatan yang dibuktikan secara resmi melalui surat keterangan dokter yang berwenang," sebutnya.

Selain itu, ada pengajuan upaya hukum luar biasa seperti Peninjauan Kembali (PK) atau permohonan grasi, meskipun diungkapkan Rahman bahwa secara prinsip tidak menunda eksekusi.

"Pertimbangan keamanan atau teknis pelaksanaan yang objektif dan terukur," lanjutnya.

Di luar itu, Rahman menuturkan, penundaan eksekusi karena intervensi kekuasaan, pengaruh politik, atau alasan non-yuridis lainnya jelas bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum.

"Sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman," imbuhnya.

Kata Rahman, jika kondisi ini terus dibiarkan, maka akan timbul dampak serius terhadap integritas penegakan hukum di Indonesia.

"Bisa meruntuhkan wibawa aparat penegak hukum dan mengikis kepercayaan publik terhadap sistem peradilan pidana," terangnya.

Tambahnya, pembiaran tersebut juga bisa semakin memperkuat stigma hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.

"Mendorong praktik impunitas yang melemahkan fungsi hukum pidana sebagai sarana perlindungan masyarakat (social defence)," tandasnya.

Wakil Dekan I Fakultas Syariah dan Hukum UIN Makassar ini bilang, dalam negara hukum, pelaksanaan putusan pengadilan merupakan bagian dari mandat konstitusional.

"Merupakan moral yang tidak boleh dihambat oleh kepentingan di luar hukum. Eksekusi yang tepat waktu dan sesuai prosedur adalah wujud nyata tegaknya supremasi hukum di Indonesia," kuncinya.

Sebelumnya diberitakan, Silfester pernah dijatuhi hukuman penjara selama satu tahun karena terbukti menyebarkan informasi bohong yang mencemarkan nama baik mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan keluarganya.

Dalam amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 100/Pid.B/2018/PN.Jkt.Sel, yang dikuatkan oleh putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, Silfester terbukti secara sah dan meyakinkan menyampaikan orasi di depan Gedung Baharkam Mabes Polri pada 15 Mei 2017 lalu.

"Akar permasalahan bangsa ini adalah ambisi politik Yusuf Kalla. Mari kita mundurkan Yusuf Kalla JK, karena JK menggunakan isu (red) untuk memenangkan Anies-Sandi. Untuk kepentingan korupsi keluarga Yusuf Kalla," kata Silfister kala itu.

Pernyataan itu dianggap mencemarkan nama baik dan tidak terbukti secara hukum.

Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya tertanggal 20 Mei 2019 menolak permohonan Silfester dan memerintahkan ia menjalani hukuman satu tahun penjara.

Kini, Silfester kembali tampil ke ruang publik dengan pernyataan kontroversial.

Ia menuding Partai Demokrat sebagai pihak yang mendanai gerakan pemakzulan Gibran dan isu ijazah palsu Jokowi. Tudingan ini disampaikan tanpa bukti kuat dan menuai kecaman dari berbagai kalangan.

Saat menjadi narasumber di Kompas Petang baru-baru ini, Silfister menegaskan bahwa isu yang terus dikembangkan Roy Suryo Cs tersebut tidak benar.

"Isu pemakzulan dan ijazah palsu ini kalau kita lihat tidak mempunyai dasar hukum dan fakta konstitusi yang benar," kata Silfister dikutip pada Senin (28/7/2025).

Ia kemudian mengutip pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Prof. Jimly Asshiddiqie, yange nyebut bahwa itu merupakan upaya untuk menghancurkan lawan politik.

"Seperti yang dikatakan Prof. Jimly Asshiddiqie hanya untuk menghancurkan lawan politik dengan tidak beradab. Bohir di belakangnya ini gak bersatu, mereka bermain sendiri-sendiri," ucapnya.

Melihat serangan yang begitu intens dan terstruktur, Silfister menegaskan bahwa kemungkinan besar gerakan tersebut didanai pihak tertentu.

"Pastinya (didanai), siapa yang mendanai begini-begini gitu loh," tukasnya.

Adapun Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan bahwa tudingan yang dialamatkan ke kubunya merupakan fitnah besar.

Hal ini ditegaskan AHY ketika kunjungan kerja di Lombok Barat, Minggu (27/7/2025) kemarin. (Muhsin/fajar)

Dapatkan berita terupdate dari FAJAR di:
  • Bagikan