FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Fritz Basiang yang saat itu masih berusia 13 tahun menyaksikan kengerian di depan matanya, ketika banyak warga desanya di Tana Toraja yang sekarat dan meninggal secara mendadak medio 1918.
Warga Tana Toraja mengenang peristiwa itu sebagai masa ketika orang-orang 'ditebang seperti rumput' (ra'ba biang, red).
"Begitu banyak orang yang sekarat, Anda akan menguburkan seseorang di pagi hari, dan akan ada kematian baru di siang hari; Anda akan menguburkan seseorang pada siang hari, dan pada sore hari, akan ada kematian lagi," ungkap Fritz Basiang dalam A Toraja Pilgrimage: The Life of Fritz Basiang.
Dalam A Toraja Pilgrimage: The Life of Fritz Basiang itu, digambarkan Pemerintah kolonial belum mulai memperkenalkan layanan medis modern apa pun di dataran tinggi dan belum memberikan bantuan kepada penduduk setempat.
Indonesia saat itu masih dikenal sebagai Hindia Belanda dan Tana Toraja merupakan salah satu wilayah koloni Kerajaan Belanda.
Tak banyak yang mengulas peristiwa mengerikan karena wabah influenza tersebut.
Salah seorang yang mengulasnya, sejarawan Australia, Colin Brown, di akhir 1980-an. Makalah Brown tersebut kemudian diterbitkan sebagai sebuah bab dalam buku Death and Disease in Southeast Asia.
Di permulaan abad ke-19, dunia dihantui oleh sebuah wabah penyakit yang menelan lebih banyak korban dalam waktu singkat dibandingkan sejarah wabah penyakit lainnya.
Pada 1918, pandemi influenza merebak di seluruh dunia, dimulai dari Eropa dan menyebar ke Amerika, Asia, Afrika, dan Australia.