Fajar.co.id, Jakarta -- Persoalan tarif impor yang disepakati antara presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan Presiden Parbowo, hingga kini masih jadi pembahasan hangat.
Bahkan, peneliti ISEAS, Made Supriatna, menilai pemerintah sedang berusaha memelintir hal tersebut seolah sebuah kesuksesan.
"Kabar Baik? Pemerintah berusaha memelintir tarif 19-0 itu sebagai kemenangan. Barang Indonesia masuk ke Amerika kena tarif 19%. Barang Amerika masuk ke Indonesia kena tarif 0%. Tidak sedikit juga yang memuji bahwa ini langkah jenius pemerintah. OK deh. Jenius," tulus Made, dikutip dari unggahannya di Facebook, Jumat (1/8/2025).
Hanya saja, lanjut Made, ada berita Trump akan kenakan tarif 15-20% kepada semua negara yang belum mencapai kesepakatan dengan AS per 1 Agustus. Kemungkinan besar nanti tarif global ya 15%. "Indonesia dapat 19% dan kita sudah bangganya setengah mati. 19 itu lebih besar dari 15 bukan?, " sindirnya dengan emoji tertawa.
Ada juga yang bilang tarif barang AS 0% akan bikin harga iPhone jadi murah. Weeeiiii Kodok! iPhone itu bikinnya di China. Bukan diimpor dari AS! Jadi hapuskan mimpi klean dapat iPhone murah!
Lagian siapa yang mau beli iPhone? 90% konsumen Indonesia pakai produknya Transsion seperti merk Infinity. Itu hape harga sejutaan. Siapa yang mampu beli iPhone yang harganya belasan atau puluhan juta?
"Jadi sebenarnya kita untung atau buntung sih? Katanya Opung dan kawan-kawan sepemerintahannya sih untung. Bagus untuk usaha, katanya," sambung Made.
Untuk dapat 19-0 itu Indonesia kasih banyak sekali konsesi. RI harus beli barang-barang AS (pesawat Boeing, misalnya). NKRI harus investasi di AS. Maksudnya buka pabraik disana. Tentu warga +62 yang nasionalisme seringkali pulang balik, sampai ke bulan dan balik ke Bekasi ini, akan bangga. Indonesia buka pabrik di AS!
AS juga paksa Indonesia untuk meliberalisasi jasa perdagangan digital. Salah satu yang diincar dalah QRIS yang banyak dipakai belanja oleh konsumen Indonesia. Nantinya, Visa, Mastercard, atau Amex harus masuk Indonesia.
Juga data pribadi orang Indonesia harus disimpan di AS. Ada yang komentar, lo kan selama ini perusahan2 AS juga sudah simpan preferensi data pribadi? Google, Meta, X, Microsoft, dll. semuanya sudah simpan preferensi data pribadi kan? Iya bener.
"Tapi gimana dengan data KTP, KK, dll. itu? Toh sudah bocor dimana-mana. Gini lo, Cuk. Data-data itu bisa diperbarui. Nanti kalau kita udah ada duit sedikit, kita bikin pembaruan. Kita simpen di sistem kita sendiri. Kalau dalam kesepakatan tarif sekarang, data2 yang diperbarui itu harus disetor ke AS. Dan kowe bangga?" Tanya Made.
Terus AS mau supaya semua pembatasan ekspor untuk mineral kritis itu dihapus oleh Indonesia. Hilirisasi? Kalau AS pengin impor ore saja, ya hilirisasi itu adalah pembatasannya. Tidak ada nikel batangan kalau AS inginnya ore saja.
Terakhir, perusahan-perusahan AS harus dikecualikan dari kewajiban kandungan lokal. Nah presiden dulu kan pernah bilang, hapus saja itu Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) karena itu banyak bohongnya. Ini barangkali sesuai dengan yang diinginkan oleh AS.
Perusahan-perusahan AS tidak boleh dikenakan TKND.
Konsekuensinya? Banyak, Su! Gini penjelasannya. Taruh misalnya John Deere mau ekspor traktor. Sekarang traktor itu dibikin otomatis semua. Programnya dipegang oleh perusahan AS itu. Kalau tidak ada TKDN, kowe beli traktor, terus rusak. Ga bisa jalan. Kowe kudu pake teknisi John Deere karena cuman mereka yang pegang kunci program komputer ohn Deere! Gak boleh dan gak bisa kalau pake teknisi yang bukan dari John Deere.
Itulah resiko dari proses digitalisasi. Orang-orang kita terlalu jenius berunding sehingga imajinasinya masih mesin ketik! Coba kowe beli e-book di Amashit. Perhatikan ketentuan pembeliannya. Kowe bayar bukan untuk beli buku. Membeli tidak untuk memiliki. Tuku ning or nduweni! Itu sama jeniusnya Wong Solo "sudah tapi belum" itu. Kowe pun harus bacanya pake Kinthel, barangnya Amashit itu. Jadi nggak seperti membeli buku cetak dimana kowe pemilik buku itu.
Jadi bisnisnya adalah App. Program komputernya dipegang. Barangnya ga akan jalan tanpa program itu. Jadi, orang berdagang sekarang bukan berdagang mekanik; tapi dagang program digital dengan data sebagai basis utamanya.
Nantinya kita akan tergantung dari AS. Apa-apa mereka semua yang menentukan. Di wilayah digital ini akan sangat terasa. Di masa depan, komoditi itu adalah data. Iya data! Imajinasi mesin ketik nggak akan bisa sampai ke imajinasi digital.
"Untung? Hebat? Makan tuh nasionalisme! NKRI harga mati. Lha yang mati itu kita-kita ini. Pemilik NKRI itu ya jaya terus karena jadi komprador atau antek AS, " tutup Made. (sam/fajar)