“Wah menarik ini mas, kalau semua pembicaraan dijadikan buku. Malam Bercerita punya jejak digital dan telah melakukan riset melalui pembicara lintas skala. Semoga secepatnya rampung,” ujar seniman dan aktivis Wanggi Hoed, salah satu pengisi acara terdahulu.
Meski dihentikan dalam format daring, Rumah Buku memastikan bahwa Malam Bercerita tidak benar-benar usai. Format offline tengah dipersiapkan, menandai pergeseran bentuk namun tetap menjaga ruh awalnya—bercerita, berdiskusi, dan membangun ruang alternatif untuk ide.
Sebenarnya literasi ini menjadi hal penting bagi teman-teman seni rupa. Apalagi saya ya saat menyelesaikan studi seni rupa di Bandung. Saya butuh literasi sebagai riset karya yang bisa saya visualisasi dalam pameran akhir. Bagi saya literasi itu sangat penting dan buku sangat membantu saya menyampaikan latar belakang karya-karya yang saya pamerkan," ucap Zeta dalam situasi yang cukup hening.
“Rasanya sungguh berat mengakhiri proyek ini. Tapi kami sadar, ini saatnya mengikhlaskan dan memberi ruang pada format baru. Buku akan jadi medium perpanjangan cerita kita,” ujar Sakkir, pembawa acara yang menjadi wajah familiar dalam setiap episode Malam Bercerita.
Dengan langkah pasti, Rumah Buku menutup satu bab dan membuka kemungkinan baru. Dalam jejak digitalnya, Malam Bercerita bukan hanya sebuah program daring, melainkan perlawanan sunyi yang mengangkat cerita lokal dari lorong-lorong yang sering luput dari narasi arus utama. "Terima kasih dan sampai jumpa di Sekolah Anak Desa," tutup Sakkir. (rls)