FAJAR.CO.ID, JAKARTA -- Pegiat Media sosial, Chusnul Chotimah, merasa geram dengan peristiwa hukum yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini.
Chusnul bahkan memiliki asumsi bahwa tidak ada keseriusan bagi pemerintah dalam memberantas judi online (Judol).
Dikatakan Chusnul, yang dirasakan masyarakat justru sesuatu yang jauh berbeda. Mereka yang tidak pernah menyentuh Judol terkena blokir oleh PPATK.
"Rekening rakyat diblokirin, rekening judol dilindungi," kata Chusnul di X @ch_chotimah2, kemarin.
Tidak berhenti di situ, ia juga menyinggung sindikat Judol yang ditangkap Polda DIY setelah dianggap merugikan bandar dengan jumlah yang fantastis.
"Judol rugikan rakyat, bandar aman, judol rugikan bandar, rakyat ditangkap. Jin bergambar didatangi, Jalan berlubang dibiarin," sesalnya.
Yang paling membuat hatinya teriris, sempat gencar isu mengenai pengibar bendera One Piece diberikan cap makar oleh pemerintah.
"Pengibar bendera anime diburu, terpidana fitnah 6 thn dibiarin. Bungul!," tandasnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi XIII DPR RI, Willy Aditya, turut memberikan komentarnya mengenai video viral pedagang bersama Pardi di Kabupaten Bantaeng ditampar pria yang mengaku aparat karena mengibarkan bendera One Piece.
Hal ini diungkapkan Willy saat ditemui di Rumah Aspirasi anggota Komisi III DPR RI, Rudianto Lallo, pada Kamis (7/8/2025) malam.
"Ini sebuah ekspresi yang biasa-biasa saja, bahkan pak Presiden sudah statement soal ini. Kalau ada respons berlebihan, ini yang keliru," kata Willy.
Dikatakan Willy, mengibarkan bendera anime yang banyak digemari masyarakat itu bukan merupakan sesuatu yang makar seperti perdebatan beberapa hari terakhir.
"Kita anggap ini kan tidak makar, tindakan ekspresi yang biasa saja. Jangan ditanggapi berlebihan, proporsional aja," sebutnya.
Lebih lanjut, Politikus Partai NasDem ini menekankan bahwa adanya rasa kecewa dari lapisan masyarakat terhadap pemerintah sebagai hal biasa.
"Orang memiliki rasa kecewa, marah, sejauh tidak melecehkan simbol-simbol negara fine-fine saja. Memang ada yang fundamental, keliru di kita, kritik kita salah alamat," Willy menuturkan.
Sebagai contoh, Willy mengungkapkan fenomena yang berkembang di masyarakat, ketika marah pada pemerintah, maka negara yang disalahkan.
"Di dalam teori demokrasi itu negaranya stabil, pemerintahan silih berganti. Dalam konteks ini kita bisa belajar dari pengalaman Turki," tambahnya.
"Politik itu dinamis, pemerintahan datang dan pergi, tapi spirit patriotisme kita kemudian harus tetap berdiri," jelasnya.
Kata Willy, jika berkaca pada Turki, setiap rumah terdapat bendera negara mereka, bahkan pada setiap diaspora mereka.
"Kita bisa belajar dari Turki dalam konteks ini. Jadi ini sebuah kritik, ungkapan kemarahan, salah alamat, dan juga direspons secara reaksioner oleh beberapa orang," tandasnya.
(Muhsin/fajar)