Di Kelurahan Malaka Sari, Jakarta Timur, urban farming itu bahkan sudah dimulai jauh sebelum pandemi. Di RT 07, RW 02, misalnya, tanaman seperti kangkung, bayam, cabai, pakcoy, serai, jahe, kunyit, dan umbi-umbian tumbuh subur.
”Pupuk hasil pengolahan sampah kami manfaatkan untuk mengembangkan urban farming di ruang terbuka hijau di belakang bank sampah, luasnya sekitar 200 meter persegi,’’ terang Sere Rohana Napitupulu, ketua RT 07, kepada Jawa Pos.
Dari pengolahan urban farming itu, Sere berhasil menjadi Duta Urban Farming dari Bank Indonesia pada 2015. Waktu mengikuti lomba tersebut, ada 15 kelompok tani (poktan) yang diajukan DKI. Mereka salah satunya. Setiap kelompok tani yang mengikuti lomba itu didampingi selama setahun untuk mengembangkan tanaman.
Di rumahnya, Sere juga memanfaatkan teras rumah untuk bercocok tanam. Tanamannya tidak jauh berbeda dengan Urban Farming Ibu Bercahaya RW 02, Kelurahan Malaka Sari.
Ada pakcoy, bayam merah, tomat, jahe, dan cabai. Bahkan, bibit untuk urban farming maupun pekarangan rumah juga dia semai di rumah.
”Untuk panen di rumah kadang hasilnya banyak, ya walaupun hanya memanfaatkan pekarangan saja. Tapi, ada akuaponik dan hidroponik,” katanya.
Selain bernilai ekonomis, dia menyebutkan bahwa mengonsumsi panen sendiri lebih sehat karena jauh dari pestisida dan virus.
Kalau tukang sayur lewat, kadang Sere mengajak tukeran. ”Saya kasih sayuran, dia kasih telur. Kan panennya juga cukup banyak,” terangnya.
Nilai ekonomis itu pula yang membuat Dadang berharap agar tren urban farming sekarang tidak sekadar berhenti sebagai hobi. Ada pasar yang terbuka yang bisa dimanfaatkan.